Senin, 09 Mei 2016

Standard




Kisah perjuangan dan perjalanan panjang seorang anak bernama Guntur dalam meraih cita-citanya menjadi seorang juara bulu tangkis sejati, seperti idola Guntur dan ayahnya, Liem Swie King.
Ayah Guntur adalah seorang komentator pertandingan bulu tangkis antar kampung yang juga bekerja sebagai pengumpul bulu angsa, bahan untuk pembuatan shuttlecock. Dia sangat mencintai bulu tangkis dan dia menularkan semangat dan kecintaannya itu pada Guntur, walaupun dia sendiri tidak bisa menjadi seorang juara bulu tangkis
Mendengar cerita ayahnya tentang KINGsang idola, Guntur bertekad untuk dapat menjadi juara dunia. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada dihadapannya, sebagai sahabat setianya Raden pun selalu berusaha membantu Guntur, walaupun kadang bantuan Raden tersebut justru seringkali menyusahkannya. Namun dengan semangat yang tinggi tanpa mengenal lelah, dan pengorbanan berat yang harus dilakukan, Guntur tak henti-hentinya berjuang untuk mendapatkan beasiswa bulu tangkis dan meraih cita-citanya menjadi juara dunia bulu tangkis kebanggaan INDONESIA dan kebanggaan keluarga.
Sejumlah orang tua wali murid yang sedang mendampingi anak-anaknya berlibur mengharapkan kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta memutar film "King" di sekolah-sekolah karena mengandung unsur pendidikan dan motivasi.

Azizah, ibu dari Abdul Rahman, siswa kelas VI salah satu sekolah dasar di Jakarta Selatan, mengaku, terharu dengan semangat meraih cita-cita dan persahabatan antara Raden dengan Guntur.

"Nilai persahabatan seperti itu saat ini jarang saya temukan di dunia "nyata", kebanyakan saat ini persahabatan dinilai dengan materi," kata Azizah usai menyaksikan film King di studio 21 bioskop Blok M Square, Jumat.

Senin, 11 April 2016

Rendahnya Budaya Membaca Di Kalangan Mahasiswa

Standard
    
Minat baca merupakan kunci utama dalam menggalahkan media buku sebagai sarana penyebar informasi serta ilmu pengetahuan. Informasi sangat pentign bagi manusia yang ingin maju karena membaca merupakan sabagai salah satu cara untuk mendapatkan informasi. Membaca merupakan unsur yang sangat menentukan dalam usaha meningkatkan kapasitas pengetahuan otak. Maka keberadaan perpustakaan sangat penting memperoleh informasi yang sebanyak – banyaknya bagi kalangan mahasiswa maupun masyarakat luas.
     Dalam zaman modern yang merupakan era ilnformasi dan ilmu pengetahuan, setiap orang berupaya mengembangkan keterampilannya dengan mendapatkan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu cara untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan adalah membaca. Menumbuhkan minat baca ini perlu ditumbuhkan sejak dini mungkin agar lebih mudah menjadikan membaca sabagai kehidupan sehari – hari. Apabila membaca sudah menjadi kebutuhan hidup sehari – hari. Membaca merupakan asfek terpenting dalam dunia pendidikan, sehingga penanaman budaya membaca di kalangan mahasiswa perlu dilakukan demi menuju masyarakat informasi di zaman abad ke 21. Skill membaca sebagai asfek penting dalam dunia pengajaran sehingga perlu di kampanyekan di kalangan mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa.

5 Budaya Membaca ala Masyarakat Jepang Yang Patut Kita Contoh

Standard

BUDAYA MEMBACA BUKU

 

1. Acara Toko Buku Sekiguchi di Televisi

Acara ini sangat membantu bagi penggemar buku yang sibuk dan tak sempat berlama-lama di toko buku. Penonton bisa melihat referensi yang divisualisasikan dalam layar TV dan memesan lewat internet atau telpon jika tertarik untuk membeli. Mirip sebuah “televisi shopping”, namun yang dipromosikan adalah buku.

2. 10 Menit Membaca Setiap Hari di Sekolah

Menurut Yoshiko Shimbun, sebuah harian nasional Jepang terbitan Tokyo, kebiasaan membaca di Jepang diawali dari sekolah. Para guru mewajibkan siswa-siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini telah berlangsung selama 30 tahun. Para ahli pendidikan Jepang mengakui bahwa pola kebiasaan yang diterapkan ini terlalu bersifat behavioristik, di mana terdapat reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam pelaksanaan aturan tersebut. Namun, pembiasaan yang dilakukan dari tingkat sekolah dasar dinilai cukup efektif, karena dilakukan pada anak-anak sejak usia dini.




3. Banyaknya Toko Buku

Menurut data dari Bunkanews, jumlah toko buku di Jepang adalah sama dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah dua puluh enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada Jepang.

Belajar Statistik Pendidikan

Standard


1.      Frekuensi dan prosentase tempat tinggal mahasiswaTempatTinggal


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
KOS
8
40.0
40.0
40.0
ORANGTUA
6
30.0
30.0
70.0
UNIRES
6
30.0
30.0
100.0
Total
20
100.0
100.0


Analisis :
a.       Jumlahtempatkosada 8 atausebesar 40%
b.      Jumlahtempat orang tuaada 6 atausebesar 30%
c.       Jumlahtempatuniresada 6 atausebesar 30%

Selasa, 05 April 2016

Standard





Harry Potter and the Half-Blood Prince is the sixth and penultimate novel in the Harry Potter series, written by British author J. K. Rowling. Set during protagonist Harry Potter's sixth year at Hogwarts, the novel explores the past of Harry's nemesis, Lord Voldemort, and Harry's preparations for the final battle against Voldemort alongside his headmaster and mentor Albus Dumbledore.
The book was published in the United Kingdom by Bloomsbury and in the United States by Scholastic on 16 July 2005, as well as in several other countries. It sold nine million copies in the first 24 hours after its release, a record at the time which was eventually broken by its sequel, Harry Potter and the Deathly Hallows. There were many controversies before and after it was published, including the right to read the copies delivered prior to the release date in Canada. Reception to the novel was generally positive and it won several awards and honours, including the 2006 British Book of the Year award.
Reviewers noted that the book took on a darker tone than its predecessors, though it did contain some humour. Some considered the main themes to be love and death, and trust and redemption. The character development of Harry and several other teenage characters was also remarked upon.


Rowling stated that she had Harry Potter and the Half-Blood Prince "planned for years", but she spent two months going over her plan before she began writing seriously. This was a lesson learned after she did not check the plan for Goblet of Fire and had to rewrite a third of the book.[12] She started writing the book before her second child, David, was born, but she took a break to care for him.[13] The first chapter, "The Other Minister", which features the meeting between the Muggle Prime Minister, the Minister for Magic Cornelius Fudge, and his successor, Rufus Scrimgeour, was a concept Rowling tried to start in Philosopher's Stone, Prisoner of Azkaban, and Order of the Phoenix, but she found "it finally works" in Half-Blood Prince.[14] She stated that she was "seriously upset" writing the end of the book, although Goblet of Fire was the hardest to write.[15] When asked if she liked the book, she responded, "I like it better than I liked 'Goblet', 'Phoenix' or 'Chamber' when I finished them. Book six does what I wanted it to do and even if nobody else likes it (and some won't), I know it will remain one of my favourites of the series. Ultimately you have to please yourself before you please anyone else!"[16]

Senin, 04 April 2016